Profil Pendiri
Buya, begitulah beliau disapa. Tak banyak yang tahu namanya saat dilahirkan, yang diketahui oleh umum hanyalah Drs. KH. Saeful Azhar, nama yang beliau tetapkan sendiri untuknya jauh setelah hari kelahirannya.
Buya lahir pada 13 Muharram 1362 H, bertepatan dengan 1943 M dari rahim Hj. Nafisah (Ma Aji) yang bersuamikan KH. Ijazi di Jalan Cibaduyut. Pada hari lahirnya, wafat pula KH. Muhammad Zaenal Hasan, uyut Buya yang merupakan tokoh ulama pesantren Bandung Selatan yang sangat populer dari ilmu lahir dan batinnya saat itu.
Awal perjalanan pendidikan Buya adalah saat masuk ke dalam Sekolah Rakyat Rahayu (sekarang SD) pada tahun 1950 dengan jarak yang mesti ditempuh dari rumah ke sana mencapai tiga kilometer tanpa transportasi. Namun itu tidak bertahan lama, karena setahun berikutnya Azhar kecil dibawa ke tempat ayah tirinya di SR Lumbung, namun tetap dengan jarak yang hanya mendekat sedikit, yaitu dua kilometer berjalan.
Pada tahun 1956, Buya lulus SR dan melanjutkan proses pembelajarannya ke SMP Muslimin di Jalan Ciateul, namun beliau menyebutkan tidak pernah memiliki ijazah SMP, itu karena meski telah mencapai kelas IX Buya tidak pernah mengikuti ujian akhir.
Sepeninggalnya dari SMP tersebut, Buya melanjutkan studinya di pesantren Al-Jawami yang berada di Cileunyi selama dua tahun, sebelum akhirnya memutuskan untuk berhaluan ke Gontor pada 1961.
Berita tentang Gontor yang hangat tersampaikan dari telinga ke telinga itu berhasil membawa Buya muda merantau jauh ke Jawa Timur dengan hanya bekal tekad dan nekat. Tak ada keluarga, tak ada kenalan, tak banyak pula petunjuk, yang diketahui hanyalah Ponorogo, daerah perbatasan dua provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Nasib memang, kadang keinginan tak selalu berjalan mulus. Setelah jauh jarak ditempuh, bukan buah yang didapat. Buya yang saat itu sudah mencapai Gontor tidak bisa langsung diterima, hal itu karena sistem penerimaan santri Gontor yang tidak sesuai dengan waktu kedatangan Buya ke sana.
Terlalu jauh jarak telah disisir, terlalu naif rasanya tuk mundur, meski harus menunggu setahun lagi, beliau lebih memutuskan untuk mondok terlebih dahulu di Pesantren Wali Songo yang terletak dekat dari Gontor. Setelah setahun di sana, akhirnya Buya bisa lulus ke Gontor dan langsung dinaikkan ke kelas 2 KMI melalui tes. Entah berapa saat itu umurnya, Buya yang seharusnya duduk di kelas 3 SMA harus mengulang usia belajarnya mundur ke deretan 2 SMP. Tapi itulah Buya, buatnya umur hanyalah bilangan angka, karena investasi terbaik bagi harta bernama waktu adalah dengan memanfaatkannya untuk hal yang hanya mengenal guna, bukan usia saja.
Setelah lulus tahun dari Gontor pada 1966, karena tak ada kata ‘tamat’ dalam kamus menuntut ilmunya, Buya tidak langsung lanjut ke tahap sekolah tinggi. Merasa kurang dengan kedalamannya dalam ilmu kitab kuning menyeretnya untuk kembali mesantren di Pondok Pesantren Cipasung, sebuah pesantren salaf terkenal saat itu di Tasikmalanya dengan pimpinan KH. Ruhiyat.
Dari Cipasung tersebut, Buya kembali ke tempatnya mondok setahun sebelum di Gontor, yaitu ke Cileunyi, bedanya kali ini beliau merangkap sebagai mahasiswa di UIN.
Setealah itu, Buya diangkat menjadi pegawai negeri di kantor dinas urusan agama, dan pada tahun 1968 menikahi Hj. Saja’ah, yang kita kenal sekarang sebagai Ummi.
Dan di sinilah perjalanan sumbangsihnya terhadap pendidikan dimulai.
Sejarah Perkembangan Pesantren
Awal mula pergerakan Buya sebagai motor pendidikan adalah saat beliau masih bekerja sebagai pegawai negeri. Latar belakang pengalaman 12 tahun mesantren tak pelak membuat kepercayaan orang sekitarnya saat itu perlahan terbangun, hingga akhirnya beliau diangkat menjadi kepala seksi, di sinilah tugas beliau mulai terbagi. Di samping tanggung jawabnya terhadap tugas di kementrian agama, kepercayaan petinggi saat itu juga membuatnya diberi kesempatan untuk mengalirkan ilmu-ilmu agamanya kepada segenap karyawan dan staf di kementrian agama. Rujukan Buya dalam membantu perluasan ilmu karyawan kemenag saat itu adalah kitab kuning sebagai sumber keilmuan yang sudah beliau telaah sepanjang studinya di pesantren dulu, khususnya dalam bab-bab munakahat yang mengkaji masalah-masalah pernikahan. Tempatnya pun tak hanya di kantor saja, bahkan rumah Buya pun direlakan untuk dijadikan ‘kelas’ belajar bagi mereka. Seiring dengan ketidakpuasan beliau dengan tugas mengajar di sana, juga idealisme beliau yang melanglang jauh dari yang baru saat itu dilakukan, akhirnya Buya memutuskan untuk mengadakan majlis ta’lim untuk masyarakat dan madrasah diniyah untuk anak-anak. Namun semua itu hanya dilakukan di paruh waktunya saat sedang tidak berdinas, terkadang sesaat setelah subuh, kadang pula setiap setelah maghrib. Setelah bertahun-tahun menjalani rutinitas tersebut, akhirnya Buya diamanati sebidang tanah di Cibaduyut dengan masjid terbangun di atasnya, juga madrasah peninggalan Abah H. Basyari. Dari situlah Buya mendirikan madrasah diniyah dengan nama Sirna Jaya. Seiring dengan perkembangan Sirna Jaya tersebut, dengan pertimbangan bahwa kelanjutan dari madrasah diniyah harus dibentuk, akhirnya dibentuklah ‘Ma’hadiyah’ atau kepesantrenan yang muridnya adalah para lulusan madrasah diniyah. Perkembangan terus berlanjut, Ma’hadiyah akhirnya membuka tingkatan bagi para mahasiswa. Muridnya adalah para mahasiswa dari berbagai macam perguruan tinggi yang meluangkan waktu senggangnya di luar waktu kuliah. Sampai di situ, Buya mulai berpikir untuk mewujudkan kaderisasi dalam bidang keilmuan berjangka panjang, karena apa yang beliau rasa selama ini hanya bersifat sementara dan terbatas pada bidang keagamaan. Ketidakpuasan itulah yang membawa Buya untuk menggunakan tenaga para mahasiswa yang sudah bisa mengembangkan ilmunya dari program Ma’hadiyah dengan membangun TK, SD, hingga pada tahun 1982 didirikanlah Al-Basyariyah. Pada awalnya, sebelum Al-Basyariyah kental dengan Tarbiyatul Mu’allimin wal Mu’allimat al-Islamiyah (TMI), Buya sempat mendirikannya dengan nama MTs dan MA. Jumlah murid saat itu sudah mencapai angka 300, angka yang sangat besar untuk lembaga usia muda. Dengan melihat bahwa santri hanya memiliki tiga tahun masa belajar juga beragam keterikatan dengan pemerintah, Buya menganggap bahwa kaderisasi tidak bisa berjalan sesuai dengan keinginannya jika terus menggunakan sistem MTs dan MA. Saat itulah Buya teringat bahwa Gontor telah mempersilahkan kepada alumni-alumninya untuk mendirikan pondok pesantren, hingga akhirnya pada tahun 1987 TMI resmi menjadi sistem pembelajaran di Al-Basyariyah. Perubahan haluan sistem ke TMI sungguh berdampak besar, terutama karena TMI hanya menyediakan enam tahun waktu belajar. Waktu yang lama tersebut menuai protes hingga membuat jumlah santri drastis merosot, namun Buya tetap konsisten dengan keputusannya, istiqomah dengan niatnya membangun kesuksesan yang pernah beliau lihat saat nyantri di Gontor. Dengan murid yang bisa dihitung oleh jari, Buya mendidik mereka sampai menjadi alumni. Kualitas alumni yang saat itu sangat diperhitungkan akhirnya membuat masyarakat yang sebelumnya tidak setuju dengan sistem TMI menjadi berbalik memasukkan anak-anaknya untuk belajar di Al-Basyariyah. Jumlah santri yang tidak mampu lagi ditampung di Cibaduyut memaksa Buya untuk melebarkan sayap kelembagaan. Pada tahun 1989 Buya membeli tanah sebanyak 20 tumbak di daerah Cigondewah Hilir yang kini merupakan Al-Basyariyah Kampus 2. Di tahun itu, dengan tanah yang sangat terbatas di Cigondewah, Buya akhirnya meminta kesediaan masyarakat untuk menampung santri-santri pindahan dari Cibaduyut. Animo masyarakat yang cukup tinggi saat itu memudahkan langkah perpindahan santri. Seiring waktu berjalan, Buya sedikit demi sedikit mendirikan gubuk-gubuk kecil sederhana yang dipakai untuk kegiatan santri. Gangguan selalu datang silih berganti, namun Buya tidak pernah menyerah. Kepada masyarakat sekitar Buya melakukan pendekatan dengan cara mendirikan majlis ta’lim, juga dengan keterbatasan listrik saat itu Buya ikut memperjuangkan agar Cigondewah mendapat pasokan listrik yang cukup. Selain itu, Buya juga berhasil dalam upayanya menabrak ‘tembok’ komunikasi perkampungan dengan mengadakan warung telepon di Al-Basyariyah. Dengan inilah akhirnya gangguan masyarakat berbalik bantuan yang disalurkan untuk pondok. Di antaranya adalah bantuan berupa zakat hingga laporan masyarakat ketika ada santri yang berusaha untuk kabur. Santri yang semakin banyak, juga tanah di Cigondewah yang penuh mendorong Buya untuk melakukan investasi jangka panjang dengan membeli tanah 20 km dari kampus 2 pada tahun 1997, tepatnya di Arjasari yang sekarang kita kenal dengan kampus 3. Hingga kini, Buya sudah memiliki 17 hektar tanah di sana. Selain kampus di Cibaduyut, Cigondewah, dan Arjasari, Al-Basyariyah pun memiliki kampus 4 di Cikungkurak. Kampus 4 ini adalah khusus untuk Madrasah Ibtidaiyyah (MI) yang sebenarnya merupakan kampus paling tua di antara yang lainnya, karena di sanalah Buya awalnya mendirikan majlis ta’lim dan madrasah diniyah sebelum diberikan tanah wakaf di Cibaduyut. Sampai tulisan ini dibuat pada awal 2016, Al-Basyariyah sudah memiliki jumlah santri keseluruhan 3729 dengan rincian 1000 di kampus 1, 2070 di kampus 2, 332 di kampus 3 dan 327 di kampus 4.Read more
Timeline Coverage
1943: Hari Rabu 13 Muharram 1362, Buya dilahirkan dari pasangan KH. Ijazi dan Hj. Nafisah bertepatan dengan wafatnya uyut beliau, Eyang Agung Muhammad, tokoh ulama pesantren Bandung Selatan yang populer di masanya. 1947: Ayahanda Buya, KH. Ijazi bin H. Basyari yang merupakan pimpinan Ponpes Sirna Jaya di Cibaduyut meninggal dunia dalam usia 38 tahun 1940: Buya mulai sekolah di Sekolah Rakyat (sekarang SD) 1951: Ma Aji (Hj. Nafisah), Ibunda Buya, menikah lagi dengan KH. Suja’i, tokoh ulama dari pangkalan Margahayu 1956: Buya lulus dari SR dan melanjutkan ke SMP Muslimin 1959: Tahun terakhir Buya di SMP Muslimin, dan di tahun yang sama Buya mulai mesantren di Pesantren Salaf Sindang Sari Cileunyi 1961: Buya merantau ke Jawa Timur untuk sekolah di Gontor, namun karena keterlambatan, akhirnya beliau untuk sementara belajar di Pesantren Wali Songo. 1962: Buya mulai resmi belajar di Gontor langsung naik ke kelas 2 KMI. 1966: Tamat dari Gontor, Buya lanjutkan studi ke Ponpes Cipasung. 1967: Buya diangkat menjadi pegawai negeri di kantor dinas urusan agama Koa Bandung, di tahun yang sama juga Buya mendirikan madrasah diniyah di Cikungkurak. Saat itu beliau tinggal bersama pamannya, Muhammad Sabiti B.A. 1968: Buya menikahi Neneng Sumiatin yang diganti menjadi Hj. Saja’ah setelah berpulang dari Mekah. Sekarang kita kenal dengan Ummi. 1970: Buya mulai menjadi mahasiswa di IAIN (UIN Bandung) fakultas Syari’ah. 1972: Buya memiliki anak pertama, Inna Siti Nurhasanah yang sekarang adalah kepala administrasi santri putri. 1973: Buya lulus dari IAIN, di tahun yang sama Buya menerima wakaf dari Abah H. Basyari berupa tanah di Cibaduyut. 1975: Buya diangkat menjadi penghulu Bandung oleh Departemen Agama. Di tahun itu juga anak kedua Buya, Lela Siti Nurfajriyah lahir. 1976: Buya diangkat menjadi kepala seksi urusan agama oleh Depag Bandung. 1977: Iyam Siti Nurmaryamah, anak ketiga Buya dilahirkan. 1978: Buya mulai merintis pesantren di Cibaduyut. 1981: Anak Buya yang keempat dilahirkan dan dinamai Isma Siti Nurhajar 1982: Buya meninggalkan segala jabatan di pemerintahan demi mengabdi sepenuhnya untuk mengurus santri di pesantren. Dari tahun ini hingga 1989, Buya mengasuh di Al-Basyariyah Cibaduyut dengan pendidikan formal dari mulai TK hingga MA, termasuk juga madrasah diniyah, ma’hadiyah, majlis ta’lim dan gerakan-gerakan ibadah sosial lainnya. 1983: Lahir anak Buya yang kelima, Nida Siti Nurzahidah. 1986: Zen Anwar Saeful Basyari, anak keenam sekaligus satu-satunya laki-laki dilahirkan. 1988: Anak bungsu Buya lahir dengan nama Indi Siti Nurihsani. 1989: Buya membeli tanah di Cigondewah dan mulai memindahkan santrinya dari Cibaduyut. 1997: Buya membeli tanah di Arjasari untuk perencanaan kepesantrenan jangka panjang sekaligus pembangunan Al-Basyariyah kampus 3. 1982 – Sekarang: Menjadi pimpinan Pondok Pesantren Al-Basyariyah juga yayasan Bumi Jannah Illiyyin.Read more
Miscellanies
MASA SEBELUM AL BASYARIYAH LAHIR Kira – kira tahun 1938 Abah H. Basyari mewakafkan sebagian harta kekayaannya berupa PERIODE KH. SADELI AL BASYARIYAH LAHIR (PERIODE BUYA DRS. K.H. SAEFUL AZHAR) SEJARAH KAMPUS CIBADUYUT Dengan hancurnya pesantren tadi, muncul seseorang yang membangun lagi masjid tersebut dan dijadikan kembali sebuah pesantren yang dipimpin Buya guru, yang bernama KH. Sadeli. Sekembalinya Buya dari belajar di berbagai pesantren, didasari oleh rasa inginnya untuk mengajarkan ilmu yang didapat, maka pada tahun 1972 pemimpin pesantren tersebut memberikan atau mewakafkan masjid tadi (yang di jadikan pesantren) kepada Buya. Dan di sinilah awal Buya mendirikan sebuah pesantren. Pesantren itu dinamakan Pondok Pesantren Al-Basyariyah. Selanjutnya Buya jadikan masjid itu sebagai sarana pendidikan bagi Buya dan juga memfungsikannya sebagai asrama bagi santrinya. Pada tahun kedua mulailah berdatangan santri dari luar daerah, sehingga begitu banyak santri namun fasilitas pondok masih sangat minim, sehingga begitu sulit untuk menampung mereka hingga akhirnya rumah Buya pun digunakan untuk para santri. Di tahun itu pula Buya memulai kuriak (membangun). Pada waktu itu pondok hanya membangun tiga lokal yang biayanya ditanggung oleh Buya, yang didapatkan atas penjualan sawah milik ayah Buya seluas 200 tumbak dengan harga lima juta. Melalui perjuangan kerja keras Buya, baik harta, jiwa dan waktu, perkembangan pondok bertambah maju dan pesat dalam setiap tahunnya, sampai pada tahun ke 6 pondok mampu mendapatkan santri berkisar antara 300 orang. Read more
Ditinjau dari garis historisnya, kampus Cibaduyut diawali dengan adanya seorang muslim yang dermawan dikenal dengan nama Abah H. Basyari. Beliau mempunyai masjid berukuran 6×9 meter yang terus diwakafkan kepada KH. Ijazi dan dijadikanlah sebuah pesantren. Namun, pada masa itu sering terjadi berbagai aksi penjajahan (Gerombolan) sehingga pesantren tadi juga dapat dihancurkannya dan yang tersisa hanyalah sebuah masjid.
Kemudian dari perjalanan masjid tua tersebut maka secara resmi didirikanlah Pondok Pesantren Al Basyariyah pada bulan Juni 1982. yang diresmikan oleh KH. R. Totoh Abdul Fatah. Beliau atas nama mertuanya yang bernama Mama H. Suja’i (Pimpinan Pondok Sindang Sari), beliau adalah guru Buya. Dengan didirikan atau diresmikannya tadi, maka keberadaan pondok sudah diketahui masyarakat dalam maupun luar. Tahun berganti tahun masyarakat tersebut mulai berbondong – bondong masuk ke Al-Basyariyah. Adapun jumlah pertama santri adalah berjumlah 12 orang.
Siapa nama Buya saat dilahirkan? Ada cerita tentang penipuan yang sempat digagalkan oleh pondok juga fakta-fakta lainnya. Silahkan baca trivia.